Hadits Tentang Dua Belas Orang Munafik | Di zaman sekarang virus salafy nashibi telah menyebar kemana-mana bahkan menjangkiti mereka yang tidak mengaku salafy. Hal ini disebabkan mereka sering membaca tulisan-tulisan salafy yang tampak ilmiah dipenuhi hadis-hadis yang ditafsirkan secara bathil. Terdapat hadis yang menjadi salah satu korban kebatilan kaum salafy dan pengikutnya yaitu hadis dua belas orang munafik diantara sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Hadis ini diriwayatkan dalam Shahih Muslim maka tak ada jalan lain bagi nashibi melemahkannya selain membuat tafsir-tafsir bathil demi membela doktrin yang mereka anut yaitu “keadilan sahabat ala nashibi”.
Yang kami maksud dengan “keadilan sahabat ala nashibi” adalah mereka menampakkan dalam perkataan mereka kalau semua sahabat itu adil tidak maksum tetapi dalam hati mereka, sahabat adalah maksum, tidak boleh dikritik, disalahkan dan dicela apapun maksiat yang mereka perbuat. Setiap maksiat dan kesalahan harus dinyatakan ijtihad yang mendapatkan pahala.
Terkait dengan hadis dua belas orang munafik terdapat salafy nashibi yang membuat tulisan khusus dengan tujuan membela doktrin mereka dan mencela orang yang ia tuduh Syiah. Kami ingatkan wahai pembaca budiman, hadis ini tidak ada kaitannya dengan Syiah. Kami akan membahas tulisan mereka secara objektif dan menunjukkan apapun tafsiran yang mereka perbuat mereka tidak akan bisa mempertahankan doktrin “keadilan sahabat ala nashibi”.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أسود بن عامر حدثنا شعبة بن الحجاج عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس قال قلت لعمار أرأيتم صنيعكم هذا الذي صنعتم في أمر علي أرأيا رأيتموه أو شيئا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة ولكن حذيفة أخبرني عن النبي صلى الله عليه و سلم قال قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة وأربعة لم أحفظ ما قال شعبة فيهم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di kalangan SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka. [Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
حدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس بن عباد قال قلنا لعمار أرأيت قتالكم أرأيا رأيتموه ؟ فإن الرأي يخطئ ويصيب أو عهدا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة وقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن في أمتي قال شعبة وأحسبه قال حدثني حذيفة وقال غندر أراه قال في أمتي اثنا عشر منافقا لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة سراج من النار يظهر في أكتافهم حتى ينجم من صدورهم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abu Nadhrah dari Qais bin ‘Abbad yang berkata saya pernah bertanya kepada ‘Ammar, bagaimana pendapatmu tentang peperperanganmu? Sesungguhnya pendapat itu bisa salah dan bisa pula benar atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadamu?. ‘Ammar berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami yang tidak Beliau sampaikan kepada orang-orang. ‘Ammar berkata sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya di kalangan umatku. [Syu’bah berkata menurut saya] ‘Ammar berkata “Huzaifah telah menceritakan kepadaku” dan [Ghundar berkata] aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “di kalangan umatku ada dua belas orang munafik yang tidak akan masuk surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga sampai unta masuk ke lubang jarum. Delapan orang diantara mereka pasti akan tertimpa Dubailah yaitu pijaran api yang menyengat bagian belakang pundak sehingga tembus ke dada mereka [Shahih Muslim 4/2143 no 2779-(10) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
Kedua hadis ini adalah hadis yang sama, perbedaan lafaz yang ada tidaklah bertentangan melainkan saling melengkapi. Lafaz “ada dua belas orang munafik di kalangan sahabat” dan lafaz “ada dua belas orang munafik di kalangan umatku” tidak bertentangan karena sahabat adalah umat Nabi juga.
Pada hadis pertama riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir dari Syu’bah disebutkan bahwa dari dua belas orang munafik delapan diantaranya tidak akan masuk surga dan akan terkena dubailah
Pada hadis kedua riwayat Ghundar dari Syu’bah disebutkan bahwa dari dua belas orang munafik semuanya tidak akan masuk surga dan delapan terkena dubailah.
Perbedaan lafaz ini pun tidak bertentangan melainkan saling melengkapi riwayat Ghundar juga menyebutkan bahwa empat orang yang tidak disebutkan dalam riwayat ‘Aswad juga tidak akan masuk surga. Riwayat Ghundar melengkapi riwayat ‘Aswad karena pada hadis ‘Aswad ia berkata “tidak hafal apa yang dikatakan Syu’bah tentang empat lainnya”. Yang hafal menjadi hujjah bagi yang tidak hafal.
Maka sangat salah sekali pernyataan salafy nashibi yang berkata “maka mafhum mukhalafah-nya adalah empat orang sisanya masuk surga-dimana hal ini menunjukkan taubat”. Empat orang sisanya berdasarkan riwayat shahih juga tidak akan masuk surga. Sangat jelas penarikan kesimpulan nashibi itu ngawur, ‘Aswad sendiri mengatakan ia tidak hafal apa yang dikatakan Syu’bah tentang empat orang lainnya sedangkan riwayat Ghundar menyebutkan bahwa empat sisanya juga tidak akan masuk surga. Pendalilan nashibi itu yang menyatakan empat orang munafik itu akan masuk surga adalah dalil kosong tanpa faedah yang berasal dari orang yang patut diduga punya penyakit kronis kenifakan dalam hatinya.
Tidak hanya itu, salafy nashibi juga menunjukkan kelemahan akalnya dalam menarik kesimpulan. Ia membawakan hadis Hudzaifah kemudian menafsirkan sekehendak hatinya yaitu hadis berikut
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ ، قَالَ : كُنَّا عِنْدَ حُذَيْفَةَ ، فَقَالَ : ” مَا بَقِيَ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الْآيَةِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ ، وَلَا مِنَ الْمُنَافِقِينَ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ : إِنَّكُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْبِرُونَا فَلَا نَدْرِي ، فَمَا بَالُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَبْقُرُونَ بُيُوتَنَا ، وَيَسْرِقُونَ أَعْلَاقَنَا ، قَالَ أُولَئِكَ الْفُسَّاقُ ، أَجَلْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، أَحَدُهُمْ شَيْخٌ كَبِيرٌ ، لَوْ شَرِبَ الْمَاءَ الْبَارِدَ لَمَا وَجَدَ بَرْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahyaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Wahb, ia berkata Kami pernah berada di sisi Hudzaifah, lalu ia berkata “Tidaklah tersisa orang yang dimaksud dalam ayat ini [yaitu QS. At-Taubah : 12] kecuali tiga orang, dan tidak pula tersisa orang-orang munafik kecuali hanya empat orang saja”. Seorang A’rabiy berkata “Sesungguhnya kalian adalah shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalian mengkhabarkan kepada kami, lalu kami tidak mengetahuinya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah merusak rumah-rumah kami dan mencuri perhiasan-perhiasan kami ?”. Hudzaifah menjawab “Mereka itu orang-orang fasik. Ya, tidaklah tersisa dari mereka [kaum munafik] kecuali empat orang, yang salah seorang dari mereka adalah seorang yang telah tua. Seandainya ia meminum air yang dingin, tentu ia tidak akan mendapati rasa dingin air itu” [Shahih Bukhari no 4658]
Setelah membawakan hadis ini, nashibi itu mengatakan Hudzaifah wafat tahun 36 H sedangkan perang Jamal terjadi tahun 36 H dan perang Shiffin terjadi tahun 37 H maka empat orang munafik yang tersisa hidup di zaman Ali radiallahu ‘anhu dan masuk dalam konsekuensi mafhum mukhaalafah yang disebutkan sebelumnya. Maksud perkataan nashibi ini adalah empat orang munafik yang tersisa dan hidup di zaman Ali radiallahu ‘anhu adalah empat orang munafik yang kata nashibi itu telah bertaubat dan akhirnya masuk surga.
Bagi orang yang paham “logika” maka sudah jelas penarikan kesimpulan nashibi itu ngawur atau mengada-ada. Sebelumnya kami telah tunjukkan bahwa dalil “mafhum mukhaalafah” nashibi itu omong kososng. Dua belas orang munafik itu telah disebutkan semuanya masuk neraka dan kedua belas ini adalah orang yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Aqabah dimana Nabi [shalallahu ‘alaihi wasallam] berkata bahwa mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat. Bagimana bisa musuh Allah dan Rasul-Nya dunia dan akhirat dikatakan masuk surga. Jadi pernyataan empat orang dari mereka bertaubat dan masuk surga hanya waham yang lahir dari orang yang memiliki sifat nifaq di hatinya.
Seandainya pun kami mengikuti waham nashibi soal “empat orang munafik yang bertaubat” maka apa alasan nashibi menyatakan bahwa empat orang tersebut adalah empat orang yang tersisa dalam hadis di atas. Perhatikan, menurut nashibi itu ada dua belas orang munafik
Delapan dari mereka masuk neraka dan terkena dubailah
Empat dari mereka dikatakan nashibi itu bertaubat dan akhirnya masuk surga
Kemudian lihat hadis Hudzaifah [sahih Bukhari di atas], apakah disebutkan disana kalau empat orang yang tersisa adalah empat orang yang katanya bertaubat dan masuk surga. Bukankah sangat mungkin kalau empat orang yang dimaksud termasuk delapan orang yang terkena dubailah?. Apa dalil nashibi itu sekehendak hatinya menyatakan empat orang yang tersisa adalah empat orang yang katanya bertaubat dan masuk surga. Tidak lain hanya waham semata. Nashibi itu berhujjah dengan waham kemudian waham itu ia jadikan hujjah lagi untuk menegakkan waham lainnya. Hasilnya hanya waham di atas waham yang tidak ada nilai kebenarannya. Nashibi itu tidak mengerti cara menarik kesimpulan dengan benar.
Selanjutnya kami akan menunjukkan kebodohan salafy nashibi dalam pembelaan mereka terhadap kata “sahabat”. Jika dikatakan kata “sahabat” memiliki banyak arti bisa secara ashl dalam bahasa bisa juga secara “ishthilahiy” maka itu memang benar. Sayangnya nashibi itu tidak membahas apa yang ia maksud dengan definisi sahabat secara ishthilahiy. Bagi mereka yang mempelajari ilmu hadis terdapat banyak definisi soal sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Diantaranya Imam Nawawi berkata
فأما الصحابي فكل مسلم رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو لحظة هذا هو الصحيح في حده وهو مذهب أحمد بن حنبل وأبي عبد الله البخاري في صحيحه والمحدثين كافة
Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun hanya sekilas. Pendapat ini yang shahih mengenai batasan sahabat dan ini adalah mazhab Ahmad bin Hanbal, Abu Abdullah Al Bukhari dalam shahihnya dan seluruh ulama ahli hadis [Syarh Shahih Muslim 1/35]
الصحابي من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال إسلام الرائي, وإن لم تطل صحبته له, وإن لم يروِ عنه شيئاً. هذا قول جمهور العلماء, خلفاً وسلفاً
Sahabat adalah orang yang melihat Rasulullah dalam keadaan islam ketika melihatnya walaupun tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadispun. Ini adalah perkataan jumhur ulama baik khalaf maupun salaf [Al Ba’its Al Hatsits Ibnu Katsir 2/491]
Apa yang dikatakan An Nawawi dan Ibnu Katsir itu bersesuaian dan sepertinya batasan sahabat menurut jumhur adalah “melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan islam”. Dan dengan definisi ini maaf tidak mengeluarkan kaum munafik dari batasan sahabat karena mereka melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mereka mengaku islam. Kemudian datanglah Ibnu Hajar yang menyampaikan definisi baru yang menurutnya lebih shahih
أصح ما وقفت عليه من ذلك أن الصحابي من لقي النبي صلى الله عليه وآله وسلم ـ مؤمناً به ومات على الإسلام, فيدخل فيمن لقيه من طالت مجالسته أو قصرت, ومن روى عنه أو لم يروِ, ومن غزا معه أو لم يغزُ, ومن رآه رؤية ولو لم يجالسه, ومن لم يره لعارض كالعمى
Yang paling shahih menurut penelitianku tentang hal ini, sahabat adalah orang yang bertemu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan iman kepadanya dan wafat dalam keadaan islam. Termasuk sahabat adalah orang yang bertemu beliau baik sebentar ataupun lama, yang meriwayatkan darinya ataupun yang tidak meriwayatkan darinya, yang berperang bersamanya dan yang tidak berperang, yang melihatnya walaupun belum pernah menemaninya dan orang yang tidak melihat Beliau karena sesuatu hal seperti buta [Al Ishabah 1/7]
Definisi Ibnu Hajar memang lebih detail dan justru mengundang banyak hal musykil, yang anehnya tidak terpikirkan oleh salafy nashibi. Apa yang dimaksud dengan “iman kepadanya” apakah pengakuan mereka kalau mereka beriman atau iman sebenarnya yang ada dalam hati mereka?. Kalau iman yang dimaksud adalah berdasarkan pengakuan mereka maka definisi ini pun tidak mengeluarkan kaum munafik dari lingkup sahabat Nabi. Kalau yang dimaksud iman sebenarnya maka memang benar munafik bukan sahabat Nabi karena mereka tidak beriman, tapi tolong kasih tahu bagaimana menilai “iman sebenarnya” di dalam hati orang yang sudah wafat ratusan tahun.
Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam. Definisi ini seolah mau mengatakan bahwa sahabat hanya bisa ditentukan mereka sahabat atau bukan setelah ia wafat karena setelah wafat baru diketahui kalau ia wafatnya dalam keadaan islam atau bukan. Definisi yang ini hanya bersifat teoretis dan tidak memiliki implementasi praktis.
Ada sejenis orang aneh pernah berkata ketika kami tanya “apa buktinya salah seorang sahabat wafat dalam keadaan islam?”. Ia jawab, saya yakin mereka wafat dalam keadaan islam justru anda yang ragu yang harus membawakan bukti. Ini kan lucu, apa gunanya definisi kalau tidak digunakan sebagai pembatas, apa gunanya definisi kalau ujung-ujungnya cuma “saya yakin”. Sejak kapan perkataan gampangan seperti itu menjadi bukti.
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengartikan sahabat seperti itu. Sahabat yang tertera dalam hadis-hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjukkan orang-orang islam yang mengikuti Beliau terlepas dari kenyataan apakah mereka berpura-pura atau bersungguh-sungguh, ini alasannya mengapa Abdullah bin Ubay dan kaum munafik lainnya tetap masuk dalam lingkup sahabat. Dan terkadang ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan kata sahabat bukan berarti tertuju untuk semua sahabatnya. Ada contoh hadis yang anehnya tidak dimengerti oleh salafy nashibi, Ia pikir lafaz “sahabat” dalam hadis ini adalah lafaz “sahabat” secara ishthilah
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya” [ Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161 dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094]
Kami sudah membahas secara khusus dalam tulisan yang ini bahwa sahabat dalam hadis di atas bukan sahabat secara ishthilah yang masyhur dalam ilmu hadis. Karena jika memang begitu maka semua orang yang diajak bicara oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu semuanya adalah sahabat Nabi tetapi mengapa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika mereka berinfaq tidak akan menyamai infaq salah seorang sahabat Nabi. Sebab munculnya hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf maka disini terdapat isyarat bahwa Khalid bin Walid tidak termasuk sahabat dalam lafaz di atas dan infaqnya walau sebesar gunung uhud tidak akan menyamai infaq satu mud ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Semua ulama menyatakan Khalid bin Walid adalah sahabat Nabi tetapi Khalid bin Walid tidak termasuk sahabat yang dimaksud dalam hadis di atas karena Khalid justru termasuk orang yang dinyatakan dengan kata “kalian” dimana infaknya sebesar gunung uhud tidak akan menyamai infaq salah seorang dari sahabat Nabi.
Hal ini menguatkan apa yang kami katakan bahwa Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengucapkan lafaz “sahabat” dalam hadisnya tidak selalu memiliki makna yang sama dengan “sahabat” yang dimaksud dalam ilmu hadis [secara ishthilah]. Disini salafy nashibi menunjukkan sifat kecurangan mereka
Ketika ada hadis dengan lafaz sahabat yang menyebutkan bahwa mereka “munafik” atau “murtad” maka salafy nashibi mengatakan sahabat yang dimaksud bukan secara isthilah
Ketika ada hadis dengan lafaz sahabat yang menyebutkan keutamaan maka salafy nashibi memukul rata bahwa lafaz itu untuk semua sahabat secara ishthilah
Padahal bisa jadi keutamaan itu tidak berlaku untuk semua sahabat secara ishthilah tetapi untuk sahabat-sahabat yang memang setia mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sahabat yang fasiq dan durhaka walaupun muslim mungkin tidak layak mendapatkan keutamaan tersebut.
Kembali ke hadis dua belas orang munafik di atas, kami tidak pernah menyatakan dengan jelas siapa kedua belas orang tersebut. Yang jelas mereka berasal dari kalangan sahabat Nabi yaitu orang-orang yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah maksud hadis di atas adalah orang munafik di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya dua belas orang?. Hal ini dikatakan oleh salafy nashibi yang “suka basa basi”. Tentu saja ini ngawur sejak kapan jumlah orang munafik cuma dua belas orang.
Dua belas orang munafik yang dimaksud tidak lain adalah dua belas orang yang ikut bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam perang tabuk yang ketika perjalanan pulang mereka berencana membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di bukit ‘Aqabah. Mereka adalah orang yang mengaku islam dan beriman kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan ikut dalam perang bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi pada hakekatnya mereka adalah munafik. Siapa kedua belas orang itu tidaklah diketahui kecuali oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberitahu kepada Hudzaifah siapa saja mereka dan berkata “mereka musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat”. Sangat tidak mungkin kalau jumlah orang munafik hanya mereka berdua belas karena faktanya masih banyak kaum munafik yang tidak ikut saat perang Tabuk dan tinggal di Madinah. Bukankah ada diantara mereka yang menyebarkan syubhat merendahkan Imam Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Madinah.
Faktanya tidak ada riwayat shahih dari Hudzaifah yang menyebutkan nama dua belas orang munafik ini. Bahkan sahabat lain tidak mengetahui siapa mereka. Pernah suatu ketika Umar ingin menshalatkan salah seorang sahabat Nabi tetapi ia tidak jadi menshalatkannya karena Hudzaifah tidak menshalatkannya dan ketika Umar bertanya kepada Hudzaifah, ternyata orang itu adalah salah seorang dari kaum munafik. Hal ini membuktikan bahwa bahkan sampai orang munafik itu wafat sahabat lain masih menganggap mereka muslim dan harus dishalatkan jenazahnya. Dalam riwayat tersebut, ketika Hudzaifah menyebutkan kepada Umar maka ia berjanji tidak akan memberitahukan hal itu lagi.
Kalau sahabat di masa itu saja [Umar] tidak mengetahui dua belas orang munafik tersebut maka bagaimana caranya orang-orang setelah masa sahabat bisa mengetahui dua belas orang munafik tersebut. Yang patut kita permasalahkan adalah bagaimana bisa para ulama dengan mengandalkan definisi “sahabat” secara ishthilah bisa sok yakin sudah memisahkan antara sahabat [secara istilah] dan “munafik”. Apa dalilnya? Apa mereka dapat mimpi atau wangsit ketemu Hudzaifah radiallahu ‘anhu dan Hudzaifah memberitahu kepada mereka?.
Salafy nashibi berkata bahwa kaum munafik yang hidup di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah masyhur diketahui siapakah mereka ini. Orang munafik bukan sahabat dan sahabat bukan orang munafik. Mari kita tanyakan pada nashibi itu, jika memang telah masyhur maka adakah anda mampu menyebutkan nama-nama mereka, selain Abdullah bin Ubay tentunya?. Bukankah anda mengaku, siapa mereka itu telah jelas. Orang munafik bukan sahabat, ya jelas kalau sahabat yang dimaksud adalah sahabat yang benar-benar beriman dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya maka sudah jelas mereka bukan orang munafik.
Tidak usah jauh-jauh cukup dua belas orang munafik yang disebutkan Hudzaifah, kalau memang menurut nashibi itu telah masyhur diketahui siapa mereka. Maka silakan sebutkan nama-nama mereka?. Kalau memang telah masyhur siapa mereka maka apa artinya Huzaifah dikenal sebagai yang menjaga rahasia Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], sesuatu yang masyhur dikenal tidak layak disebut rahasia. Kalau memang telah masyhur diketahui siapa mereka maka mengapa Umar tidak mengenalnya dan berniat menshalatkan jenazahnya sampai akhirnya ia dicegah oleh Huzaifah.
Hal ini tidaklah seperti yang dikatakan nashibi itu, diantara kaum munafik itu ada yang memang masyhur siapa dirinya yaitu Abdullah bin Ubay dan diantara kaum munafik juga ada yang tidak dikenal siapa saja mereka seperti halnya dua belas orang munafik yang diketahui oleh Huzaifah tetapi tidak diketahui oleh sahabat lainnya. Kaum munafik itu adalah orang yang hidup bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka mengaku kalau mereka beriman dan memeluk islam maka dari sisi ini mereka termasuk dalam kelompok sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika mereka dikenal seperti Abdullah bin Ubay maka akan mudah dikatakan kalau pada hakikatnya ia bukan sahabat Nabi yang benar-benar beriman tetapi bagaimana dengan kaum munafik yang tidak dikenal seperti kedua belas munafik [dalam hadis shahih Muslim]. Jika Huzaifah sendiri merahasiakannya maka mengapa ada “ulama” atau “yang ngaku ngaku ulama” mengklaim mengenal siapa mereka dan memastikan bahwa mereka bukan sahabat.
Perdebatan ini memang terlihat hanya karena perbedaan definisi atau batasan yang digunakan soal kata “sahabat” tetapi pada hakikatnya kedudukan nashibi disini kayak orang ngeyel. Kami akan berikan analogi yang cukup memberikan gambaran. Di suatu negara ada pasukan yang telah berjasa besar bagi negara itu. Dalam pasukan tersebut ternyata ada pengkhianat atau mata-mata, tetapi tidak diketahui siapa ia. Kemudian sejarah menyebutkan karena jasa-jasa pasukan tersebut maka semua yang ikut dalam pasukan ini layak disebut pahlawan dan dianugerahkan medali kehormatan. Dengan berlalunya waktu, orang-orang yang hidup di zaman kemudian [di negara tersebut] ribut soal mata-mata dalam pasukan tersebut.
Orang yang kritis akan berkata “diantara semua pasukan yang disebut pahlawan itu ternyata ada pengkhianat atau mata-mata”.
Orang yang bodoh malah ngeyel berkata “tidak ada pengkhianat dalam pasukan tersebut, pahlawan bukan pengkhianat dan pengkhianat bukanlah pahlawan”.
Sebenarnya orang yang kritis juga paham kalau pengkhianat bukanlah pahlawan tetapi kalau telah jelas siapa pengkhianat itu maka orang-orang akan menyingkirkannya dan tidak akan menyebutnya pahlawan tetapi jika tidak jelas siapa pengkhianat atau mata-mata tersebut maka orang-orang hanya melihat bahwa semua yang ikut dalam pasukan tersebut adalah pahlawan [termasuk pengkhianat itu].
Dan si bodoh bin pandir beranggapan karena semuanya telah disebut pahlawan maka tidak ada pengkhianat dalam pasukan tersebut, secara istilah pengkhianat bukan pahlawan dan pahlawan bukan pengkhianat. Si bodoh itu ribut soal definisi istilah tetapi tidak mengerti hakikat permasalahannya. Kami yakin para pembaca akan mengerti maksud dari analogi yang kami sampaikan, uups selain nashibi tentunya karena mereka adalah kaum yang hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan.
Yang kami maksud dengan “keadilan sahabat ala nashibi” adalah mereka menampakkan dalam perkataan mereka kalau semua sahabat itu adil tidak maksum tetapi dalam hati mereka, sahabat adalah maksum, tidak boleh dikritik, disalahkan dan dicela apapun maksiat yang mereka perbuat. Setiap maksiat dan kesalahan harus dinyatakan ijtihad yang mendapatkan pahala.
Terkait dengan hadis dua belas orang munafik terdapat salafy nashibi yang membuat tulisan khusus dengan tujuan membela doktrin mereka dan mencela orang yang ia tuduh Syiah. Kami ingatkan wahai pembaca budiman, hadis ini tidak ada kaitannya dengan Syiah. Kami akan membahas tulisan mereka secara objektif dan menunjukkan apapun tafsiran yang mereka perbuat mereka tidak akan bisa mempertahankan doktrin “keadilan sahabat ala nashibi”.
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أسود بن عامر حدثنا شعبة بن الحجاج عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس قال قلت لعمار أرأيتم صنيعكم هذا الذي صنعتم في أمر علي أرأيا رأيتموه أو شيئا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة ولكن حذيفة أخبرني عن النبي صلى الله عليه و سلم قال قال النبي صلى الله عليه و سلم في أصحابي اثنا عشر منافقا فيهم ثمانية لا يدخلون الجنة حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة وأربعة لم أحفظ ما قال شعبة فيهم
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah yang berkata telah menceritakan kepada kami Aswad bin Amir yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah bin Hajjaj dari Qatadah dari Abi Nadhrah dari Qais yang berkata “saya pernah bertanya kepada Ammar, bagaimana pendapatmu tentang perang terhadap Ali? Atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah SAW kepadamu?. Ammar menjawab “Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami suatu pesan yang tidak Beliau sampaikan juga kepada orang-orang”. Saya diberitahu oleh Huzaifah dari Nabi SAW yang bersabda “Di kalangan SahabatKu ada dua belas orang munafik. Di antara mereka ada delapan orang yang tidak akan masuk surga sampai unta masuk ke lubang jarum”. Delapan orang diantara mereka akan mendapat Dubailah, sedangkan empat lainnya aku tidak hafal yang dikatakan Syu’bah tentang mereka. [Shahih Muslim 4/2143 no 2779 (9) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
حدثنا محمد بن المثنى ومحمد بن بشار ( واللفظ لابن المثنى ) قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن قتادة عن أبي نضرة عن قيس بن عباد قال قلنا لعمار أرأيت قتالكم أرأيا رأيتموه ؟ فإن الرأي يخطئ ويصيب أو عهدا عهده إليكم رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟ فقال ما عهد إلينا رسول الله صلى الله عليه و سلم شيئا لم يعهده إلى الناس كافة وقال إن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال إن في أمتي قال شعبة وأحسبه قال حدثني حذيفة وقال غندر أراه قال في أمتي اثنا عشر منافقا لا يدخلون الجنة ولا يجدون ريحها حتى يلج الجمل في سم الخياط ثمانية منهم تكفيكهم الدبيلة سراج من النار يظهر في أكتافهم حتى ينجم من صدورهم
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Abu Nadhrah dari Qais bin ‘Abbad yang berkata saya pernah bertanya kepada ‘Ammar, bagaimana pendapatmu tentang peperperanganmu? Sesungguhnya pendapat itu bisa salah dan bisa pula benar atau bagaimana pesan yang disampaikan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kepadamu?. ‘Ammar berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak pernah menyampaikan pesan kepada kami yang tidak Beliau sampaikan kepada orang-orang. ‘Ammar berkata sesungguhnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “sesungguhnya di kalangan umatku. [Syu’bah berkata menurut saya] ‘Ammar berkata “Huzaifah telah menceritakan kepadaku” dan [Ghundar berkata] aku melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] bersabda “di kalangan umatku ada dua belas orang munafik yang tidak akan masuk surga, bahkan mereka tidak akan dapat mencium harumnya surga sampai unta masuk ke lubang jarum. Delapan orang diantara mereka pasti akan tertimpa Dubailah yaitu pijaran api yang menyengat bagian belakang pundak sehingga tembus ke dada mereka [Shahih Muslim 4/2143 no 2779-(10) tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi]
Kedua hadis ini adalah hadis yang sama, perbedaan lafaz yang ada tidaklah bertentangan melainkan saling melengkapi. Lafaz “ada dua belas orang munafik di kalangan sahabat” dan lafaz “ada dua belas orang munafik di kalangan umatku” tidak bertentangan karena sahabat adalah umat Nabi juga.
Pada hadis pertama riwayat ‘Aswad bin ‘Aamir dari Syu’bah disebutkan bahwa dari dua belas orang munafik delapan diantaranya tidak akan masuk surga dan akan terkena dubailah
Pada hadis kedua riwayat Ghundar dari Syu’bah disebutkan bahwa dari dua belas orang munafik semuanya tidak akan masuk surga dan delapan terkena dubailah.
Perbedaan lafaz ini pun tidak bertentangan melainkan saling melengkapi riwayat Ghundar juga menyebutkan bahwa empat orang yang tidak disebutkan dalam riwayat ‘Aswad juga tidak akan masuk surga. Riwayat Ghundar melengkapi riwayat ‘Aswad karena pada hadis ‘Aswad ia berkata “tidak hafal apa yang dikatakan Syu’bah tentang empat lainnya”. Yang hafal menjadi hujjah bagi yang tidak hafal.
Maka sangat salah sekali pernyataan salafy nashibi yang berkata “maka mafhum mukhalafah-nya adalah empat orang sisanya masuk surga-dimana hal ini menunjukkan taubat”. Empat orang sisanya berdasarkan riwayat shahih juga tidak akan masuk surga. Sangat jelas penarikan kesimpulan nashibi itu ngawur, ‘Aswad sendiri mengatakan ia tidak hafal apa yang dikatakan Syu’bah tentang empat orang lainnya sedangkan riwayat Ghundar menyebutkan bahwa empat sisanya juga tidak akan masuk surga. Pendalilan nashibi itu yang menyatakan empat orang munafik itu akan masuk surga adalah dalil kosong tanpa faedah yang berasal dari orang yang patut diduga punya penyakit kronis kenifakan dalam hatinya.
Tidak hanya itu, salafy nashibi juga menunjukkan kelemahan akalnya dalam menarik kesimpulan. Ia membawakan hadis Hudzaifah kemudian menafsirkan sekehendak hatinya yaitu hadis berikut
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، حَدَّثَنَا يَحْيَى ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ وَهْبٍ ، قَالَ : كُنَّا عِنْدَ حُذَيْفَةَ ، فَقَالَ : ” مَا بَقِيَ مِنْ أَصْحَابِ هَذِهِ الْآيَةِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ ، وَلَا مِنَ الْمُنَافِقِينَ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ : إِنَّكُمْ أَصْحَابَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُخْبِرُونَا فَلَا نَدْرِي ، فَمَا بَالُ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَبْقُرُونَ بُيُوتَنَا ، وَيَسْرِقُونَ أَعْلَاقَنَا ، قَالَ أُولَئِكَ الْفُسَّاقُ ، أَجَلْ لَمْ يَبْقَ مِنْهُمْ إِلَّا أَرْبَعَةٌ ، أَحَدُهُمْ شَيْخٌ كَبِيرٌ ، لَوْ شَرِبَ الْمَاءَ الْبَارِدَ لَمَا وَجَدَ بَرْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahyaa yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil yang berkata telah menceritakan kepada kami Zaid bin Wahb, ia berkata Kami pernah berada di sisi Hudzaifah, lalu ia berkata “Tidaklah tersisa orang yang dimaksud dalam ayat ini [yaitu QS. At-Taubah : 12] kecuali tiga orang, dan tidak pula tersisa orang-orang munafik kecuali hanya empat orang saja”. Seorang A’rabiy berkata “Sesungguhnya kalian adalah shahabat-shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalian mengkhabarkan kepada kami, lalu kami tidak mengetahuinya. Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah merusak rumah-rumah kami dan mencuri perhiasan-perhiasan kami ?”. Hudzaifah menjawab “Mereka itu orang-orang fasik. Ya, tidaklah tersisa dari mereka [kaum munafik] kecuali empat orang, yang salah seorang dari mereka adalah seorang yang telah tua. Seandainya ia meminum air yang dingin, tentu ia tidak akan mendapati rasa dingin air itu” [Shahih Bukhari no 4658]
Setelah membawakan hadis ini, nashibi itu mengatakan Hudzaifah wafat tahun 36 H sedangkan perang Jamal terjadi tahun 36 H dan perang Shiffin terjadi tahun 37 H maka empat orang munafik yang tersisa hidup di zaman Ali radiallahu ‘anhu dan masuk dalam konsekuensi mafhum mukhaalafah yang disebutkan sebelumnya. Maksud perkataan nashibi ini adalah empat orang munafik yang tersisa dan hidup di zaman Ali radiallahu ‘anhu adalah empat orang munafik yang kata nashibi itu telah bertaubat dan akhirnya masuk surga.
Bagi orang yang paham “logika” maka sudah jelas penarikan kesimpulan nashibi itu ngawur atau mengada-ada. Sebelumnya kami telah tunjukkan bahwa dalil “mafhum mukhaalafah” nashibi itu omong kososng. Dua belas orang munafik itu telah disebutkan semuanya masuk neraka dan kedua belas ini adalah orang yang berniat membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Aqabah dimana Nabi [shalallahu ‘alaihi wasallam] berkata bahwa mereka adalah musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat. Bagimana bisa musuh Allah dan Rasul-Nya dunia dan akhirat dikatakan masuk surga. Jadi pernyataan empat orang dari mereka bertaubat dan masuk surga hanya waham yang lahir dari orang yang memiliki sifat nifaq di hatinya.
Seandainya pun kami mengikuti waham nashibi soal “empat orang munafik yang bertaubat” maka apa alasan nashibi menyatakan bahwa empat orang tersebut adalah empat orang yang tersisa dalam hadis di atas. Perhatikan, menurut nashibi itu ada dua belas orang munafik
Delapan dari mereka masuk neraka dan terkena dubailah
Empat dari mereka dikatakan nashibi itu bertaubat dan akhirnya masuk surga
Kemudian lihat hadis Hudzaifah [sahih Bukhari di atas], apakah disebutkan disana kalau empat orang yang tersisa adalah empat orang yang katanya bertaubat dan masuk surga. Bukankah sangat mungkin kalau empat orang yang dimaksud termasuk delapan orang yang terkena dubailah?. Apa dalil nashibi itu sekehendak hatinya menyatakan empat orang yang tersisa adalah empat orang yang katanya bertaubat dan masuk surga. Tidak lain hanya waham semata. Nashibi itu berhujjah dengan waham kemudian waham itu ia jadikan hujjah lagi untuk menegakkan waham lainnya. Hasilnya hanya waham di atas waham yang tidak ada nilai kebenarannya. Nashibi itu tidak mengerti cara menarik kesimpulan dengan benar.
Selanjutnya kami akan menunjukkan kebodohan salafy nashibi dalam pembelaan mereka terhadap kata “sahabat”. Jika dikatakan kata “sahabat” memiliki banyak arti bisa secara ashl dalam bahasa bisa juga secara “ishthilahiy” maka itu memang benar. Sayangnya nashibi itu tidak membahas apa yang ia maksud dengan definisi sahabat secara ishthilahiy. Bagi mereka yang mempelajari ilmu hadis terdapat banyak definisi soal sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Diantaranya Imam Nawawi berkata
فأما الصحابي فكل مسلم رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم ولو لحظة هذا هو الصحيح في حده وهو مذهب أحمد بن حنبل وأبي عبد الله البخاري في صحيحه والمحدثين كافة
Sahabat adalah setiap muslim yang melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] walaupun hanya sekilas. Pendapat ini yang shahih mengenai batasan sahabat dan ini adalah mazhab Ahmad bin Hanbal, Abu Abdullah Al Bukhari dalam shahihnya dan seluruh ulama ahli hadis [Syarh Shahih Muslim 1/35]
الصحابي من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال إسلام الرائي, وإن لم تطل صحبته له, وإن لم يروِ عنه شيئاً. هذا قول جمهور العلماء, خلفاً وسلفاً
Sahabat adalah orang yang melihat Rasulullah dalam keadaan islam ketika melihatnya walaupun tidak lama dan tidak meriwayatkan satu hadispun. Ini adalah perkataan jumhur ulama baik khalaf maupun salaf [Al Ba’its Al Hatsits Ibnu Katsir 2/491]
Apa yang dikatakan An Nawawi dan Ibnu Katsir itu bersesuaian dan sepertinya batasan sahabat menurut jumhur adalah “melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan islam”. Dan dengan definisi ini maaf tidak mengeluarkan kaum munafik dari batasan sahabat karena mereka melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan mereka mengaku islam. Kemudian datanglah Ibnu Hajar yang menyampaikan definisi baru yang menurutnya lebih shahih
أصح ما وقفت عليه من ذلك أن الصحابي من لقي النبي صلى الله عليه وآله وسلم ـ مؤمناً به ومات على الإسلام, فيدخل فيمن لقيه من طالت مجالسته أو قصرت, ومن روى عنه أو لم يروِ, ومن غزا معه أو لم يغزُ, ومن رآه رؤية ولو لم يجالسه, ومن لم يره لعارض كالعمى
Yang paling shahih menurut penelitianku tentang hal ini, sahabat adalah orang yang bertemu Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam keadaan iman kepadanya dan wafat dalam keadaan islam. Termasuk sahabat adalah orang yang bertemu beliau baik sebentar ataupun lama, yang meriwayatkan darinya ataupun yang tidak meriwayatkan darinya, yang berperang bersamanya dan yang tidak berperang, yang melihatnya walaupun belum pernah menemaninya dan orang yang tidak melihat Beliau karena sesuatu hal seperti buta [Al Ishabah 1/7]
Definisi Ibnu Hajar memang lebih detail dan justru mengundang banyak hal musykil, yang anehnya tidak terpikirkan oleh salafy nashibi. Apa yang dimaksud dengan “iman kepadanya” apakah pengakuan mereka kalau mereka beriman atau iman sebenarnya yang ada dalam hati mereka?. Kalau iman yang dimaksud adalah berdasarkan pengakuan mereka maka definisi ini pun tidak mengeluarkan kaum munafik dari lingkup sahabat Nabi. Kalau yang dimaksud iman sebenarnya maka memang benar munafik bukan sahabat Nabi karena mereka tidak beriman, tapi tolong kasih tahu bagaimana menilai “iman sebenarnya” di dalam hati orang yang sudah wafat ratusan tahun.
Apa yang dimaksud “wafat dalam keadaan islam”?. Apakah setiap orang yang dinyatakan sahabat oleh Ibnu Hajar [dalam Al Ishabah] memiliki data riwayat bahwa mereka wafat dalam keadaan islam. Definisi ini seolah mau mengatakan bahwa sahabat hanya bisa ditentukan mereka sahabat atau bukan setelah ia wafat karena setelah wafat baru diketahui kalau ia wafatnya dalam keadaan islam atau bukan. Definisi yang ini hanya bersifat teoretis dan tidak memiliki implementasi praktis.
Ada sejenis orang aneh pernah berkata ketika kami tanya “apa buktinya salah seorang sahabat wafat dalam keadaan islam?”. Ia jawab, saya yakin mereka wafat dalam keadaan islam justru anda yang ragu yang harus membawakan bukti. Ini kan lucu, apa gunanya definisi kalau tidak digunakan sebagai pembatas, apa gunanya definisi kalau ujung-ujungnya cuma “saya yakin”. Sejak kapan perkataan gampangan seperti itu menjadi bukti.
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengartikan sahabat seperti itu. Sahabat yang tertera dalam hadis-hadis Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menunjukkan orang-orang islam yang mengikuti Beliau terlepas dari kenyataan apakah mereka berpura-pura atau bersungguh-sungguh, ini alasannya mengapa Abdullah bin Ubay dan kaum munafik lainnya tetap masuk dalam lingkup sahabat. Dan terkadang ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menggunakan kata sahabat bukan berarti tertuju untuk semua sahabatnya. Ada contoh hadis yang anehnya tidak dimengerti oleh salafy nashibi, Ia pikir lafaz “sahabat” dalam hadis ini adalah lafaz “sahabat” secara ishthilah
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari Abu Sa’id Al Khudri RA yang berkata Rasulullah SAW bersabda “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya” [ Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57 no 161 dan Musnad Ahmad 3/11 no 11094]
Kami sudah membahas secara khusus dalam tulisan yang ini bahwa sahabat dalam hadis di atas bukan sahabat secara ishthilah yang masyhur dalam ilmu hadis. Karena jika memang begitu maka semua orang yang diajak bicara oleh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] saat itu semuanya adalah sahabat Nabi tetapi mengapa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengatakan jika mereka berinfaq tidak akan menyamai infaq salah seorang sahabat Nabi. Sebab munculnya hadis ini disebutkan bahwa Khalid bin Walid mencaci ‘Abdurrahman bin ‘Auf maka disini terdapat isyarat bahwa Khalid bin Walid tidak termasuk sahabat dalam lafaz di atas dan infaqnya walau sebesar gunung uhud tidak akan menyamai infaq satu mud ‘Abdurrahman bin ‘Auf. Semua ulama menyatakan Khalid bin Walid adalah sahabat Nabi tetapi Khalid bin Walid tidak termasuk sahabat yang dimaksud dalam hadis di atas karena Khalid justru termasuk orang yang dinyatakan dengan kata “kalian” dimana infaknya sebesar gunung uhud tidak akan menyamai infaq salah seorang dari sahabat Nabi.
Hal ini menguatkan apa yang kami katakan bahwa Ketika Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengucapkan lafaz “sahabat” dalam hadisnya tidak selalu memiliki makna yang sama dengan “sahabat” yang dimaksud dalam ilmu hadis [secara ishthilah]. Disini salafy nashibi menunjukkan sifat kecurangan mereka
Ketika ada hadis dengan lafaz sahabat yang menyebutkan bahwa mereka “munafik” atau “murtad” maka salafy nashibi mengatakan sahabat yang dimaksud bukan secara isthilah
Ketika ada hadis dengan lafaz sahabat yang menyebutkan keutamaan maka salafy nashibi memukul rata bahwa lafaz itu untuk semua sahabat secara ishthilah
Padahal bisa jadi keutamaan itu tidak berlaku untuk semua sahabat secara ishthilah tetapi untuk sahabat-sahabat yang memang setia mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Sahabat yang fasiq dan durhaka walaupun muslim mungkin tidak layak mendapatkan keutamaan tersebut.
Kembali ke hadis dua belas orang munafik di atas, kami tidak pernah menyatakan dengan jelas siapa kedua belas orang tersebut. Yang jelas mereka berasal dari kalangan sahabat Nabi yaitu orang-orang yang mengikuti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Apakah maksud hadis di atas adalah orang munafik di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] hanya dua belas orang?. Hal ini dikatakan oleh salafy nashibi yang “suka basa basi”. Tentu saja ini ngawur sejak kapan jumlah orang munafik cuma dua belas orang.
Dua belas orang munafik yang dimaksud tidak lain adalah dua belas orang yang ikut bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dalam perang tabuk yang ketika perjalanan pulang mereka berencana membunuh Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di bukit ‘Aqabah. Mereka adalah orang yang mengaku islam dan beriman kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan ikut dalam perang bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tetapi pada hakekatnya mereka adalah munafik. Siapa kedua belas orang itu tidaklah diketahui kecuali oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberitahu kepada Hudzaifah siapa saja mereka dan berkata “mereka musuh Allah dan Rasul-Nya di dunia dan akhirat”. Sangat tidak mungkin kalau jumlah orang munafik hanya mereka berdua belas karena faktanya masih banyak kaum munafik yang tidak ikut saat perang Tabuk dan tinggal di Madinah. Bukankah ada diantara mereka yang menyebarkan syubhat merendahkan Imam Ali yang ditunjuk sebagai pengganti Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] di Madinah.
Faktanya tidak ada riwayat shahih dari Hudzaifah yang menyebutkan nama dua belas orang munafik ini. Bahkan sahabat lain tidak mengetahui siapa mereka. Pernah suatu ketika Umar ingin menshalatkan salah seorang sahabat Nabi tetapi ia tidak jadi menshalatkannya karena Hudzaifah tidak menshalatkannya dan ketika Umar bertanya kepada Hudzaifah, ternyata orang itu adalah salah seorang dari kaum munafik. Hal ini membuktikan bahwa bahkan sampai orang munafik itu wafat sahabat lain masih menganggap mereka muslim dan harus dishalatkan jenazahnya. Dalam riwayat tersebut, ketika Hudzaifah menyebutkan kepada Umar maka ia berjanji tidak akan memberitahukan hal itu lagi.
Kalau sahabat di masa itu saja [Umar] tidak mengetahui dua belas orang munafik tersebut maka bagaimana caranya orang-orang setelah masa sahabat bisa mengetahui dua belas orang munafik tersebut. Yang patut kita permasalahkan adalah bagaimana bisa para ulama dengan mengandalkan definisi “sahabat” secara ishthilah bisa sok yakin sudah memisahkan antara sahabat [secara istilah] dan “munafik”. Apa dalilnya? Apa mereka dapat mimpi atau wangsit ketemu Hudzaifah radiallahu ‘anhu dan Hudzaifah memberitahu kepada mereka?.
Salafy nashibi berkata bahwa kaum munafik yang hidup di zaman Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah masyhur diketahui siapakah mereka ini. Orang munafik bukan sahabat dan sahabat bukan orang munafik. Mari kita tanyakan pada nashibi itu, jika memang telah masyhur maka adakah anda mampu menyebutkan nama-nama mereka, selain Abdullah bin Ubay tentunya?. Bukankah anda mengaku, siapa mereka itu telah jelas. Orang munafik bukan sahabat, ya jelas kalau sahabat yang dimaksud adalah sahabat yang benar-benar beriman dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya maka sudah jelas mereka bukan orang munafik.
Tidak usah jauh-jauh cukup dua belas orang munafik yang disebutkan Hudzaifah, kalau memang menurut nashibi itu telah masyhur diketahui siapa mereka. Maka silakan sebutkan nama-nama mereka?. Kalau memang telah masyhur siapa mereka maka apa artinya Huzaifah dikenal sebagai yang menjaga rahasia Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam], sesuatu yang masyhur dikenal tidak layak disebut rahasia. Kalau memang telah masyhur diketahui siapa mereka maka mengapa Umar tidak mengenalnya dan berniat menshalatkan jenazahnya sampai akhirnya ia dicegah oleh Huzaifah.
Hal ini tidaklah seperti yang dikatakan nashibi itu, diantara kaum munafik itu ada yang memang masyhur siapa dirinya yaitu Abdullah bin Ubay dan diantara kaum munafik juga ada yang tidak dikenal siapa saja mereka seperti halnya dua belas orang munafik yang diketahui oleh Huzaifah tetapi tidak diketahui oleh sahabat lainnya. Kaum munafik itu adalah orang yang hidup bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mereka mengaku kalau mereka beriman dan memeluk islam maka dari sisi ini mereka termasuk dalam kelompok sahabat Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Jika mereka dikenal seperti Abdullah bin Ubay maka akan mudah dikatakan kalau pada hakikatnya ia bukan sahabat Nabi yang benar-benar beriman tetapi bagaimana dengan kaum munafik yang tidak dikenal seperti kedua belas munafik [dalam hadis shahih Muslim]. Jika Huzaifah sendiri merahasiakannya maka mengapa ada “ulama” atau “yang ngaku ngaku ulama” mengklaim mengenal siapa mereka dan memastikan bahwa mereka bukan sahabat.
Perdebatan ini memang terlihat hanya karena perbedaan definisi atau batasan yang digunakan soal kata “sahabat” tetapi pada hakikatnya kedudukan nashibi disini kayak orang ngeyel. Kami akan berikan analogi yang cukup memberikan gambaran. Di suatu negara ada pasukan yang telah berjasa besar bagi negara itu. Dalam pasukan tersebut ternyata ada pengkhianat atau mata-mata, tetapi tidak diketahui siapa ia. Kemudian sejarah menyebutkan karena jasa-jasa pasukan tersebut maka semua yang ikut dalam pasukan ini layak disebut pahlawan dan dianugerahkan medali kehormatan. Dengan berlalunya waktu, orang-orang yang hidup di zaman kemudian [di negara tersebut] ribut soal mata-mata dalam pasukan tersebut.
Orang yang kritis akan berkata “diantara semua pasukan yang disebut pahlawan itu ternyata ada pengkhianat atau mata-mata”.
Orang yang bodoh malah ngeyel berkata “tidak ada pengkhianat dalam pasukan tersebut, pahlawan bukan pengkhianat dan pengkhianat bukanlah pahlawan”.
Sebenarnya orang yang kritis juga paham kalau pengkhianat bukanlah pahlawan tetapi kalau telah jelas siapa pengkhianat itu maka orang-orang akan menyingkirkannya dan tidak akan menyebutnya pahlawan tetapi jika tidak jelas siapa pengkhianat atau mata-mata tersebut maka orang-orang hanya melihat bahwa semua yang ikut dalam pasukan tersebut adalah pahlawan [termasuk pengkhianat itu].
Dan si bodoh bin pandir beranggapan karena semuanya telah disebut pahlawan maka tidak ada pengkhianat dalam pasukan tersebut, secara istilah pengkhianat bukan pahlawan dan pahlawan bukan pengkhianat. Si bodoh itu ribut soal definisi istilah tetapi tidak mengerti hakikat permasalahannya. Kami yakin para pembaca akan mengerti maksud dari analogi yang kami sampaikan, uups selain nashibi tentunya karena mereka adalah kaum yang hampir-hampir tidak mengerti pembicaraan.
Tidak ada komentar untuk " Hadits Tentang Dua Belas Orang Munafik "